Powered By Blogger

Kamis, 03 November 2011

makalah analisis proses kebijakan


ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGENDALIAN
KONVERSI LAHAN PERTANIAN                                                   DI KABUPATEN BANYUASIN

TUGAS MATA KULIAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas         
Mata Kuliah Analisis Proses Kebijakan Publik (APKP)
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Semester Genap Tahun 2010/2011

Dosen Pengasuh :
Junaidi, S.I.P., M.Si
Alamsyah, S.I.P., M.Si


Oleh :

GUNAWAN HARO     07091001038

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
JUNI 2011

ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGENDALIAN
KONVERSI LAHAN PERTANIAN                                                   DI KABUPATEN BANYUASIN                      
                                                                                                         TUGAS MATA KULIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas         
Mata Kuliah Analisis Proses Kebijakan Publik (APKP)
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Semester Genap Tahun 2010/2011

Dosen Pengasuh :
Junaidi, S.I.P., M.Si
Alamsyah, S.I.P., M.Si


Oleh :

GUNAWAN HARO     07091001038

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
JUNI 2011
ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGENDALIAN
KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANYUASIN
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI                                                                                                                         i
BAB I .   PENDAHULUAN                                                                                                            1
A.       Latar Belakang                                                                                             1
B.Perumusan Masalah                                                                             7
C.       Kerangka Berpikir                                                                                        8
                                                                           
BAB II.   LANDASAN TEORI                                                                                           9
BAB III. ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN                                                        14
A.    Pengembangan Alternatif Kebijakan                                                           14
B.     Deskripsi Analisis Alternatif Kebijakan                                                       19                                             
BAB IV. REKOMENDASI                                                                                                 27
A.    Penentuan Kriteria dan Skor Alternatif Kebijakan                                   27
B.     Alternatif Kebijakan Yang Terpilih Beserta Argumentasi                        32

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                          37


                                                                       
ANALISIS ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGENDALIAN
KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BANYUASIN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam  perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam  sumbangannya terhadap PDB, penyedia lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam  negeri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah  satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer  dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial  ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian.  Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat  mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak  dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian  belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan  masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat.
Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak  pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong  terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang kedua, cakupan kebijakan yang  terbatas. Ada tiga alternatif kebijakan yang dibahas dalam pengendalian konversi lahan sawah, yaitu kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral, pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Model kebijakan yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan dapat memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan.
Permasalahan konversi lahan yang terjadi di daerah hilir Sungai Musi di Provinsi Sumatera Selatan khususnya Kabupaten  Banyuasin hampir mengalami titik kritis sehingga perlu penanganan dari pihak terkait.  Daerah Pesisir sungai Musi Kabupaten Banyuasin sejak tahun 1969 (Pelita 1) telah dikembangkan oleh Pemerintah menjadi daerah persawahan untuk lahan pertanian, yang merupakan bagian dari rencana Pemerintah Indonesia untuk swasembada pangan, pelaksanaan pengembangan tersebut dilakukan di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya. Sejalan dengan rencana tersebut pemerintah melaksanakan program transmigrasi penduduk dari Pulau Jawa/Bali ke daerah tersebut.
Kabupaten Banyuasin dengan luas daerah 12.000 km2  yang diperkirahkan 50% dari luas tersebut berupa rawa pasang surut( 6.000 km2), penduduknya 85.000 jiwa (tahun 2009) dimana hampir 70% dari penduduk tersebut sebagai petani atau bekerja dalam usaha yang berhubungan dengan pertanian. Permasalahan yang dihadapi penduduk tersebut adalah: 1. Semakin maraknya konversi lahan dari pertanian ke non pertanian, 2 sistem irigasi, 3. Fasilitas pendukung pertanian, 4. Situasi pemasaran, berupa akses jalan masuk, 5. Sumberdaya manusia berupa jumlah, pendidikan dan semakin banyaknya jumlah pertumbuhan penduduk yang mendorong terjadinya konversi lahan.Untuk mengatasi permasalahan dan meningkatkan taraf hidup petani, pemerintah harus membatasi alih fungsi lahan atau konversi lahan dari pertanian ke non pertanian yang sangat merugikan masyarakat petani. Dimana luas lahan yang telah dikonversi menjadi lahan kelapa sawit adalah 750 km2 ( 50% dari luas daerah rawan pasang surut)  yang tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyrakat khususnya para petani.  Yang menjadi peta permasalahan konversi lahan yang terjadi Kabupaten Banyuasin adalah Penyusutan lahan pertanian atau alih fungsi lahan, misalnya menjadi perumahan, dan perkebunan pembuatan jalan Alih fungsi tersebut terutama dari lahan sawah ke perkebunan, terjadi karena pendapatan mengelola tanaman perkebunan seperti kelapa sawit dan karet lebih menjanjikan dibandingkan pendapatan usahatani padi. Kemudian yang kedua adalah kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak  pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong  terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian.  Kemudian yang ketiga Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian  untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi mencukupi mendorong penerapan  teknologi baru untuk peningkatan produktivitas. Ini akibat tidak ada lagi lahan kosong yang cocok dijadikan menjadi areal pertanian, karena peralihan alih fungi lahan tersebut
Kompleksitas masalah yang terjadi dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama Dari aspek politis, Sejak era reformasi, ada kecenderungan bahwa pemerintah daerah khusunya pemerintah Kabupaten Banyuasin cenderung  kurang memperhatikan fungsi jalan usahatani, karena tidak potensial untuk menghasilkan PAD. Perbaikan jalan usahatani, terutama agar dapat dilalui kendaraan  roda empat sangat diperlukan agar pengangkutan hasil panen padi lebih lancar,  sehingga dapat memperbaiki efisiensi pemasaran, dan pada gilirannya akan  mengangkat tingkat harga output yang diterima petani. Dari aspek psikologis, konversi lahan yang terjadi khususnya di Kabupaten Banyuasin  sangat mengurangi kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang terkesan lambat dan kurang tanggap dalam mengatasi permasalahan pengendalian konversi lahan yang sedang terjadi, karena masyarakat setempat sudah bosan dengan janji-janji para pemerintah daerah setempat. Dari aspek finansial, akibat konversi lahan yang terjadi maka  akan mengurangi pendapatan masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Banyuasin yang mempunyai lahan pertanian, yang sebagian besar pengahasilannya berasal dari sektor pertanian, karena lahan pertanian mereka sudah beralih fungsi ke sector non pertanian.

Tabel 1. Ringkasan permasalahan konversi lahan di Kabupaten Banyuasin
Tahapan
Analisis
Situasi Masalah
konversi lahan/atau alih fungi lahan pertanian ke non pertanian atau ke penggunaan lainnya di Kabupaten Banyuasin
Meta Masalah
1.      Penyusutan lahan pertanian atau alih fungsi lahan, misalnya menjadi perumahan, dan perkebunan pembuatan jalan.
2.      kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak  pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong  terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian.
3.      Sempitnya lahan berakibat pada tidak tercukupinya hasil kegiatan usaha pertanian  untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi mencukupi mendorong penerapan  teknologi baru untuk peningkatan produktivitas
Masalah Substantif
1.      Dari aspek politis, Sejak era reformasi, ada kecenderungan bahwa pemerintah daerah cenderung  kurang memperhatikan fungsi jalan usahatani, karena tidak potensial untuk menghasilkan PAD.
2.      Dari aspek psikologis, konversi lahan yang terjadi khususnya di Kabupaten Banyuasi  sangat mengurangi kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang terkesan lambat dan kurang tanggap dalam mengatasi permasalahan pengendalian konversi lahan yang sedang terjadi.
3.      Dari aspek finansial, akibat konversi lahan yang terjadi maka  akan mengurangi pendapatan masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Banyuasin yang mempunyai lahan pertanian, karena penghasilan dari sector pertanian telah berkurang.
Masalah Formal
Dengan mendasarkan pada situasi masalah, meta masalah, dan masalah substantif sebagaimana diuraikan di atas, maka masalah formalnya adalah alternatif kebijakan manakah yang terbaik yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam pengendalian konversi lahan pertanian di Kabupaten Banyuasin?
  Sumber : Diolah penulis
1.2. Perumusan Masalah
 Dari latar belakang diatas dan table permasalahan yang diatas dapat ditarik yang menjadi perumusan masalah adalah alternatif kebijakan manakah yang terbaik yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam pengendalian konversi lahan pertanian di Kabupaten Banyuasin seperti:
1.                         Alternatif Kebijakan apa yang akan dilakukan untuk membatasi kepentingan pribadi atau selfinterest secara terusmenerus ,kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral?
2.                         Kebijakan apa yang dilakukan dalam pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi?
3.                         Alternatif Kebijakan apa yang dilakukan dalam penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan pertanian?

                                                                                                                    
1.3. Kerangka Berfikir
Pertanian yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pertaniaan dalam arti sempit yaitu pertanian usahatani untuk menghasilkan pangan dan hortikultura. Artinya pertanian yang mencakup peternakan, perkebunanan, dll tidak termasuk dalam penelitian ini. Dengan demikian konversi lahan yang dimaksud adalah konversi dari lahan pertanian ke non pertanian yang dapat diketahui dari penurunan luas lahan pertanian. Batasan  pada konversi lahan pertanian ini berimplikasi bahwa konversi lahan pertanian ke non pertanian mencakup perubahan peruntukan lahan pertanian kepada lahan perkebunan, industry, permukiman dan lain-lain
Gambar 1. Bagan Alur Berfikir Konversi Lahan Pertanian






Proses marginalisasi /kemiskinan
 


 








    



Meningkatkan ketidakadilan
 
   

           Sumber : Sihaloho, M et all Konversi Lahan Pertanian
BAB II
Landasan Teori
2.1. Analisis Kebijakan Publik
Analisis kebijakan publik merupakan ilmu yang bersifat multidisipliner, banyak para ahli mendefinisikan istilah analisis kebijakan publik namun substansinya tetap sama, beberapa diantaranya adalah :
W.N. Dunn, 1994                                             
Analisis kebijakan publik merupakan disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan multi metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang policy relevan untuk memecahkan masalah kebijakan.
Patton C.V and Sawicki, D.S, 1986
Analisis kebijakan publik adalah proses mengidentifikasikan dan mengevaluasi alternatif kebijakan atau alternatif program untuk mengatasi atau mencegah masalah – masalah sosial, ekonomi, dan fisik.
Seringkali kebijakan publik tidak dilaksanakan secara sistematis dan cenderung reaktif, sehingga kualitas kebijakan sangat rendah dan banyak ditentang masyarakat. Selain itu, dalam suatu kebijakan masih mengandung kelemahan, antara lain : (1) Core problem tidak terdefinisi dengan baik ; (2) mengalami kgagalan karena kondisi politik tidak mendukung ; (3) outcomes kebijakan tidak seperti yang diharapkan.
Dalam mengevaluasi suatu altenatif kebijakan terdapat beberapa metode yang dapat digunakan (S. Effendi, 1990) diantaranya adalah :
a.     Franklin Method, adalah suatu metode untuk memilih dan membandingkan berbagai alternatif dengan cara menginventarisir berbagai alasan positif dan negatif ataupun dengan melihat konsekuensi masing – masing kebijakan yang telah diidentifikasi.
b.    Paurel Compretion Method, adalah suatu cara memilih dan membandingkan berbagai alternatif kebijakan secara berpapasan sampai memperoleh alternatif terakhir.
c.     Satisfizing method, adalah cara memilih alternatif kebijakan dengan mendasarkan apakah altenatif tersebut memenuhi kriteria yang telah ditetapkan.
d.    Lexicographic method, adalah suatu cara pemilihan altenatif kebijakan dengan membandingkan semua alternatif berdasaran kriteria seleksi.
e.     Alternatif Non Domain Method, adalah suatu cara membandingkan alternatif kebijakan, dimana yang paling dominan adalah yang dipilih.
f.     Equivalent Alternatif Method. adalah suatu cara memilih alternatif dengan membandingkan alternatif dengan membuat standar atau kriteria yang sama yang akan digunakan.
g.    Analisis Matrix Method, adalah suatu cara membandingkan alternatif kebijakan dengan menggunakan matrix.
Dengan menerapkan kriteria tersebut seorang analis dapat merekomendasikan alternatif kebijakan mana yang paling baik dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan.
Disamping itu, analisis kebijakan publik dapat dilakukan dengan basis Dynamic Policy Analysis. Menurut Dwiyanto Indiahono (2009) Kebijakan publik berbasis Dynamic Policy Analysis adalah kebijakan publik yang dirancang dan dikonsepsikan dengan mendasarkan diri kepada analisis kebijakan yang berani melakukan pemikiran atas ; desain – desain kebijakan publik yang telah ada; desain – desain program dan kebijakan yang berhasil dilaksanakan di berbagai daerah domestik maupun luar negeri ; alternatif kebijakan yang dikembangkan diluar batas peraturan yang berlaku yang sewaktu – waktu dapat berubah ; alternatif kebijakan yang kreatif dan adaptif terhadap perubahan lingkungan kebijakan secara cepat dan tepat ; usaha kebijakan untuk menciptakan karakter birokrasi yang unggul. Analisis kebijakan berbasis Dynamic Policy Analysis jua mendasarkan diri kepada sinergitas analisis kebijakan dengan publik, privat dan pemerintah dalam setiap tahap analisis kebijakan publik. Sinergitas tersebut akan menimbulkan pola dinamis dari proses analisis kebijakan, sehingga akan menambah kualitas kebijakan yang rasional dan lebih pro kepada publik.

2.2. Teori Alokasi Lahan.
Penggunaan lahan merupakan resultante dari interaksi berbagai macam faktor  yang menentukan keputusan perorangan, kelompok, ataupun pemerintah. Oleh karena  itu proses perubahan penggunaan lahan sifatnya sangat kompleks. Mekanisme  perubahan itu melibatkan kekuatan-kekuatan pasar, sistem administratif yang  dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Peranan pasar dalam proses  alokasi penggunaan lahan sudah banyak dipelajari (Chisholm, 1966; Alonso, 1970;  Barlowe, 1978) yang mendasarkan pada efisiensi. Oleh karena itu, tingkah laku  individual yang dimasukkan dalam mekanisme pasar didasarkan pada nilai penggunaan  (utility) yaitu highest and best use.  Secara teoritis, sejauhmana efisiensi alokasi sumberdaya lahan dapat dicapai  melalui mekanisme pasar, akan tergantung apakah hak pemilikan (ownership) dapat  mengontrol himpunan karakteristik sumberdaya lahan.
Himpunan karakteristik ini  antara lain adalah : eksternalitas, inkompatibilitas antar alternatif penggunaan, ongkos  transaksi, economies of scale, aspek pemerataan, dan keadilan. Dalam prakteknya,  pemerintah di sebagian besar negara di dunia memegang peran kunci dalam alokasi  lahan. Dengan sangat strategisnya fungsi dan peran lahan tanah dalam kehidupan  masyarakat (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) maka pemerintah mempunyai  legitimasi kuat untuk mengatur kepemilikan/penguasaan tanah. Peran pemerintah  dalam alokasi lahan sumberdaya lahan dapat berupa kebijakan yang tidak langsung  seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti pembangunan  waduk dan kepemilikan lahan seperti hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya.  Dengan demikian peranan pemerintah melalui sistem perencanaan wilayah (tata guna)  ditujukan untuk: (1) menyediakan sumberdaya lahan untuk kepentingan umum, (2)  meningkatkan keserasian antar jenis penggunaan lahan, dan (3) melindungi hak milik  melalui pembatasan aktivitas-aktivitas yang membahayakan.
Secara garis besar, model tata guna lahan dapat dikelompokkan menjadi dua.  Pertama, model mikro dimana satuan analisisnya mikro (misalnya perusahaan). Dalam  pendekatan ini terdapat empat model yang biasa diacu yaitu: (1) model von Thunen,  (2) model Burges, (3) model Hoyt, dan (4) model Weber (Barlowe, 1978; Foust and de  Souza, 1978). Kedua, model analitik pendekatan wilayah, dimana unit analisisnya  adalah wilayah.  Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo. Menurut model ini,  alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus ekonomi  (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang  ditentukan oleh kesuburannya. Menurut von Thunen nilai land rent bukan hanya  ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya. Pendekatan von  Thunen mengibaratkan pusat perekonomian adalah suatu kota yang dikelilingi oleh  lahan yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan sebagi cincin-cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang  mengelilingi kota tersebut. Berbeda dengan model-model sebelumnya, orientasi dari model Weber adalah  menentukan lokasi optimal dari suatu unit usaha relatif terhadap sumber bahan baku dan lokasi pemasaran produk. Model ini pada umumnya digunakan untuk menganalisis  dampak-dampak, misalnya dampak permintaan akhir terhadap produk industri dan implikasinya terhadap permintaan lahan.
2.3. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian.
Secara semantik, istilah "pengendalian" mengandung makna "melakukan suatu  tindakan tertentu dengan tujuan agar proses, output, dan outcomes" yang terjadi sesuai  dengan yang diharapkan. Oleh karena itu secara normatif langkah-langkah yang harus  dilakukan dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian mencakup  lima aspek yaitu: (1) penentuan cakupan, tujuan dan sasaran, (2) penentuan pendekatan  dan metode, dan (3) identifikasi instrumen kebijakan, (4) implementasi kebijakan, dan  (5) evaluasi.  Penentuan cakupan, tujuan, dan sasaran pengendalian lahan sangat penting  dengan adanya kompetisi penggunaan lahan untuk tujuan konsumsi (perumahan),  produksi dan pelestarian lingkungan sehingga diperlukan pengaturan yang ditujukan  untuk menjamin ketersediaan lahan untuk berbagai penggunaan. Dengan demikian,  pengendalian lahan juga berfungsi untuk mengamankan kepentingan publik. 
Mengingat pengendalian lahan bersifat spatial maka perlu adanya harmonisasi antar  wilayah administrasi sehingga pengendalian lahan merupakan kebijakan berlingkup  nasional. Penentuan pendekatan dan metode. Pendekatan dan metode yang diterapkan  untuk mengendalikan alih fungsi lahan pertanian tergantung pada tiga aspek secara  simultan yaitu: (1) cakupan, tujuan, dan sasaran pengendalian alih fungsi lahan  pertanian itu sendiri, (2) permasalahan empiris yang terkait dengan penyebab, pola, dan  dampak alih fungsi lahan pertanian, dan (3) sumberdaya yang dimiliki yang  diperkirakan dapat dipergunakan untuk mendukung pendekatan atau metode  pengendalian yang akan diterapkan. Pertimbangan untuk menentukan pendekatan dan  metode yang akan diterapkan harus mengacu pada azas efisiensi dan efektivitasnya.  Efisiensi mengacu pada seberapa banyak sumberdaya (waktu, tenaga, dana) yang  diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; sedangkan  efektivitas mengacu pada sejauhmana sasaran dicapai dalam konteks cakupan, kualitas,  dan peluang keberlanjutannya. Pearce and Turner (1990) dalam kasus wetland  merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam pengendalian alih fungsi  lahan yaitu melalui regulasi, akuisisi dan manajemen serta insentif dan charges. Pendekatan regulasi, pemerintah menetapkan aturan dalam pemanfaatan lahan  yang ada, berdasarkan pertimbangan teknis, ekonomis dan sosial. Selain itu diperlukan  mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua stakeholder  yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam pendekatan acquisition and  management pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual beli lahan  serta penyempurnaan land tenure yang ada, yang mendukung ke arah upaya  mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Sedangkan melalui incentive and  charges, pemberian subsidi (insentif) kepada petani yang dapat meningkatkan kualitas  lahan yang dimilikinya, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang  mempertahankan keberadaan lahan pertanian.  Identifikasi instrumen kebijakan.
Pendekatan dan metode yang berbeda  berimplikasi pada instrumen kebijakan yang akan diterapkan. Sebagai contoh, jika  pendekatan yang ditempuh adalah regulasi dan metode yang akan diterapkan adalah  zonasi, maka instrumen yang sesuai adalah peraturan perundang-undangan beserta  kelembagaan pendukungnya, dana yang diperlukan untuk sosialisasi, kontrol terhadap  pelaksanaan perundang-undangan, dan sebagainya. Jika pendekatan yang digunakan  berupa incentive and charges dan metode yang diterapkan adalah peningkatan insentif  kepada petani untuk mempertahankan usahataninya. Penentuan instrumen kebijakan  harus mempertimbangkan kelayakan teknis, ekonomi, sosial, dan politik.  Implementasi kebijakan. Jika langkah-langkah di atas telah dilaksanakan  maka tahap paling krusial tentu saja implementasi dari strategi kebijakan yang telah  ditentukan. Evaluasi. Diperlukan untuk mengukur sejauhmana strategi kebijakan yang  diterapkan tersebut mencapai sasarannya dan sangat diperlukan untuk memperoleh  masukan yang bermanfaat penyempurnaan lebih lanjut. Hal ini mempertimbangkan  bahwa secara empiris alokasi lahan merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang  sangat kompleks. Sejumlah perbaikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan  efektivitasnya maupun dalam rangka mengantisipasi dinamika yang dihadapi di  lapangan.
2.4. Manfaat Lahan Pertanian.
Lahan pertanian mempunyai manfaat yang sangat luas secara ekonomi, sosial  dan lingkungan. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dari  berlangsungnya proses produksi, kesempatan kerja, pendapatan, devisa, dan lain  sebagainya. Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan eksistensi  kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya lainnya. Dari aspek lingkungan,  aktivitas pertanian pada umumnya lebih kompatibel dengan prinsip-prinsip pelestarian  lingkungan.  Berbagai klasifikasi manfaat lahan pertanian dapat disimak dalam Munasinghe  (1992), Callaghan (1992), Sogo Kenkyu (1998), ataupun Yoshida (1994). Dua kategori  manfaat yaitu: use values dan non use values. Use values atau nilai penggunaan yang  dapat pula disebut sebagai personal use values. Ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi  atau kegiatan usahatani pada lahan pertanian. Non-use values yang bersifat sebagai  intrinsic values atau manfaat bawaan, sepert terpeliharanya keragaman hayati atau  pemanfaatan lahan pertanian sebagai wahana pendidikan lingkungan.  Jika diperhitungkan secara komprehensif, manfaat per hektar lahan sawah  ternyata sangat besar.
2.5. Konversi Lahan Sawah Pola, Besaran dan Kecenderungan.
Pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Menurut pelaku  konversi, maka dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, alih fungsi secara langsung  oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif pada umumnya adalah untuk pemenuhan  kebutuhan tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, atau  kombinasinya. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan yaitu pemilik  menjual kepada pihak lain.  Menurut Irawan (2005) konversi lahan cenderung menular/meningkat disebabkan oleh dua faktor terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan  perumahan atau industri di suatu lokasi yang terkonversi, maka aksesibilitas di lokasi tersebut semakin mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga lahan selanjutnya mendorong petani lain di sekitarnya untuk menjual lahannya. Pembeli tanah tersebut biasanya bukan penduduk setempat sehingga akan terbentuk lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses konversi lahan (Wibowo,1996).

BAB III
Landasan Alternatif Kebijakan
3.1. Pengembangan Alternatif Kebijakan
            Dari deskripsi pemetaan masalah dan analisis masalah, diketahui bahwa yang menjadi akar permasalahan adalah konversi lahan pertanian menjadi perkebunan, dan perumahan, yang secara langsung sangat mempengaruhi aspek – aspek kehidupan masyarakat Kabupaten Banyuasin dimana penyebab masalah yang dihadapi, yaitu karena semakin banyaknya  penduduk Kabupaten Banyuasin yang butuh tempat tinggal,  sementara lahan tidak ada yang kosong, maka lahan pertanian yang dijadikan sebagai perumahan warga. Dengan demikian dapat diramalkan tentang apa yang seharusnya dilakukan (kebijakan alternatif). Melalui strategi peramalan akan didapatkan suatu visi yang prospektif yang mendukung tujuan awal tindakan kebijakan yang nantinya akan diambil sesuai dengan prinsip efisiensi dan efektifitas.
            Dalam menentukan alternatif kebijakan, digunakan metode – metode yang relevan agar mampu mendapatkan hasil yang terbaik. Metode yang digunakan adalah Metode mixing atau campuran dari beberapa metode :
1.         Metode Survey Cepat
Berdasarkan saran – saran oleh beberapa ahli dan para stakeholders
2.         Metode Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, dengan landasan teoritis yang telah ada.

            Setelah mendapatkan acuan alternatif kebijakan, untuk mendapatkan alternatif kebijakan yang relevan dengan inti permasalahan, dilakukan pula proses peramalan alternatif kebijakan (Forecasting).  Metode yang digunakan dalam peramalan untuk menentukan alternatif kebijakan dalam analisis kebijakan perlindungan jalan adalah menggunakan metode Prediction Forecasting (Prediksi) . Metode Prediksi adalah peramalan yang didasarkan pada asumsi teoritik dengan argumentasi berdasarkan kondisi yang ada sekarang dengan prediksi masa depan ketika kebijakan tersebut dilaksanakan.
            Berdasarkan hasil perumusan permasalahan kebijakan, terdapat tiga  alternatif kebijakan yang akan dikembangkan, yaitu Pertama adalah upaya untuk membatasi kepentingan pribadi atau selfinterest secara terusmenerus untuk memperoleh lahan dalam rangka memenuhi berbagai tujuan kehidupan, kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral. Apabila hal ini tidak terkendali akan menyebabkan kerusakan sumber daya alam. Salah satu alternatif  kebijakan adalah sentralisasi pengendalian, yaitu suatu keputusan politik yang mengambil alih atau membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya dalam suatu wilayah, baik yang berupa collective pool resources seperti halnya tanah ulayat maupun lahan sawah yang sudah menjadi milik individu. Sampai saat ini belum ada contoh pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas Masalahnya bukan terletak pada integrasi kewenangan karena integrasi kewenangan akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyalahgunaan otoritas. Kedua pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi, dan pembangunan kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam mengendalikan konversi lahan sawah. Model kebijakan yang terakhir, apabila difasilitasi dengan baik, diharapkan dapat memperkuat kapital sosial yang ada pada masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan. Ketiga penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan pertanian
 Demikian pula kemampuan melaksanakan  rencana tata ruang  oleh pemerintah daerah. Daya tarik pemanfaatan lahan oleh para investor sedemikian besarnya sehingga dengan mudah mengatasi berbagai kendala yang ditetapkan melalui aturan-aturan  baik yang sifatnya nasional maupun daerah. Kedua, membangun instrumen kebijakan yang memberikan insentif kepada pemilik lahan pertanian  baik individual maupun kolektif. Para pemilik lahan mempunyai posisi yang strategi dalam menjalankan ketiga fungsi utama, baik fungsi produksi dan konservasi maupun warisan nilai-nilai budaya. Untuk maksud tersebut diperlukan suatu evaluasi tentang daerah-daerah irigasi yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Alternatif kebijakan yang ketiga adalah penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan pertanian. Menurut teori identitas psikologi sosial, masyarakat memperoleh harga diri dari kelompok atau masyarakat di mana mereka berada. Adanya rasa identitas yang kuat dalam masyarakat mendorong kerja sama antarindividu dan membawa aspirasi mereka semakin dekat dengan yang ada pada masyarakat (Van Vught 2002).



I.     Kategori Alternatif Kebijakan Upaya untuk membatasi kepentingan pribadi atau selfinterest secara terusmenerus ,kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral
a.      Tujuan Umum Kebijakan
Tujuan umum dari kebijakan ini adalah untuk memperoleh lahan dalam rangka memenuhi berbagai tujuan kehidupan, suatu keputusan politik yang mengambil alih atau membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya dalam suatu wilayah, baik yang berupa collective pool resources seperti halnya tanah ulayat maupun lahan sawah yang sudah menjadi milik individu. Sampai saat ini belum ada contoh pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas Masalahnya bukan terletak pada integrasi kewenangan karena integrasi kewenangan akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyalahgunaan otoritas. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini, tingkat alih fungsi lahan  dapat diminimalisir. Hal ini diharapkan dapat tercapai dengan asumsi bahwa keadaan sumber daya finansia yang mendukung, serta adanya dukungan dan peran serta masyarakat setempat dalam pelaksanaan kebijakan.
b.      Alternatif Kebijakan
1.      Pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas.
2.      Kebijakan Harga: Subsidi Input dan Output Kebijakan harga (subsidi) dapat berupa subsidi input, subsidi harga output, maupun kombinasi dari keduanya.

II.                Kategori Alternatif Kebijakan pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi.
a.      Tujuan Umum Kebijakan
Tujuan umum dari kebijakan ini adalah untuk membangun instrumen kebijakan yang memberikan insentif kepada pemilik lahan pertanian  baik individual maupun kolektif. Para pemilik lahan mempunyai posisi yang strategi dalam menjalankan ketiga fungsi utama, baik fungsi produksi dan konservasi maupun warisan nilai-nilai budaya. Untuk maksud tersebut diperlukan suatu evaluasi tentang daerah-daerah irigasi yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini, tingkat alih fungsi lahan  dapat diminimalisir. Hal ini diharapkan dapat tercapai dengan asumsi bahwa keadaan sumber daya finansia yang mendukung, serta adanya dukungan dan peran serta masyarakat setempat dalam pelaksanaan kebijakan.
b.      Alternatif Kebijakan
1.      Menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi lahan sawahnya sebagai lahan usahatani.
2.      Menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak-pihak lain yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ke penggunaan lain. ditempuh melalui pengenaan biaya sebagai kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah.
3.      Kombinasi dari kedua hal tersebut di atas. Menurut efek yang ditimbulkannya, instrumen ekonomi yang ditujukan untuk menciptakan insentif bagi petani terdiri dari dua macam: (a) langsung, dan (b) tidak langsung.

III.             Kategori Alternatif Kebijakan penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumber daya lahan pertanian
a.      Tujuan Umum Kebijakan
Tujuan umum dari kebijakan ini adalah untuk Menurut teori identitas psikologi sosial, masyarakat memperoleh harga diri dari kelompok atau masyarakat di mana mereka berada. Adanya rasa identitas yang kuat dalam masyarakat mendorong kerja sama antarindividu dan membawa aspirasi mereka semakin dekat dengan yang ada pada masyarakat. Diharapkan dengan adanya kebijakan ini, tingkat alih fungsi lahan di Kabupaten Banyuasin  dapat diminimalisir hingga . Hal ini diharapkan dapat tercapai dengan asumsi bahwa keadaan sumber daya manusia yang ada mendukung, serta adanya konsistensi dari ketegasan dalam melaksanakan kebijakan ini, dan kesadaran yang timbul dari pihak – pihak yang terlibat dalam kebijakan ini, terutama yang berhubungan dengan pihak –pihak terkait.
b.      Alternatif Kebijakan
1.      Bantuan Teknis Pengembangan Teknologi, Peningkatan  produktivitas dan perbaikan mutu produk dapat ditempuh melalui aplikasi teknologi  yang kondusif untuk mengoptimalkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman;
2.      Rehabilitasi/pengembangan infrastruktur, Rehabilitasi dan atau penyempurnaan sarana dan prasarana mencakup irigasi,  jalan usahatani, ketersediaan alat pengolahan tanah mekanis dan pompa irigasi, akses  petani terhadap lembaga perkreditan, dan kinerja pemasaran input dan output
3.      Keringanan Pajak Lahan Sawah Untuk Petani di Wilayah Sasaran, yang relevan dipertimbangkan adalah pajak, dengan  memberikan keringanan pajak lahan sawah (PBB) untuk petani pemilik lahan sawah di  suatu wilayah pesawahan yang ditetapkan sebagai kawasan lahan sawah 'abadi'.

3.2. Deskripsi Analisis Kebijakan
1.      Kategori Alternatif Kebijakan Upaya untuk membatasi kepentingan pribadi atau selfinterest secara terusmenerus ,kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral.
NO.
ALTERNATIF KEBIJAKAN
1.
Pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas
2
Kebijakan Harga: Subsidi Input dan Output Kebijakan harga ( subsidi) dapat berupa subsidi input, subsidi harga output, maupun kombinasi dari keduanya

Alternatif kebijakan I
Pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas
a.      Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan dalam rangka memenuhi berbagai tujuan kehidupan, suatu keputusan politik yang mengambil alih atau membatasi kebebasan dalam mengakses sumber daya dalam suatu wilayah, baik yang berupa collective pool resources seperti halnya tanah ulayat maupun lahan sawah yang sudah menjadi milik individu. Sampai saat ini belum ada contoh pengendalian pemanfaatan lahan sawah yang efektif oleh suatu otoritas Masalahnya bukan terletak pada integrasi kewenangan karena integrasi kewenangan akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti penyalahgunaan otoritas
b.      Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1.      Cocok sebagai peredam risiko  usahatani
2.      Dapat difokuskan pada lokasi  sasaran
c.       Kelemahan Kebijakan ini antara lain:
1.      Implementasinya agak rumit
2.      Secara politis kurang populer
3.      Efektif untuk membatasi alih fungsi  sistematis
Alternatif Kebijakan II
Kebijakan Harga: Subsidi Input dan Output Kebijakan harga ( subsidi) dapat berupa subsidi input, subsidi harga output, maupun kombinasi dari keduanya
a.      Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan bahwa subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan distortif yang  membutuhkan dukungan anggaran pemerintah dan potensial menimbulkan inefisiensi  ekonomi. Oleh karena itu subsidi menjadi layak secara ekonomi jika terkait dengan  upaya untuk mengoreksi pasar yang distortif agar menjadi lebih fair. Secara umum  subsidi menjadi lebih relevan apabila dikaitkan dengan upaya untuk mendorong petani  mengadopsi teknologi baru atau mendorong optimalisasi aplikasi input. Kredit  bersubsidi dapat dianjurkan dalam kondisi dimana kendala yang dihadapi petani dalam  permodalan sulit dipecahkan melalui pasar perkreditan formal yang telah ada
b.      Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1.      Efeknya cepat
2.      Ongkosnya relatif murah
3.      Rancang bangun kebijakan lebih sederhana
c.       Kelemahan Kebijakan ini antara lain:
1.      Secara relatif efeknya cepat hilang
2.      Tidak dapat diterapkan di suatu wilayah
3.      Tidak kondusif untuk mendorong efisiensi

2.      Kategori Alternatif Kebijakan pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah/lahan pertanian yang perlu dilindungi.
NO.
ALTERNATIF KEBIJAKAN
1.
Menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi lahan sawahnya sebagai lahan usahatani
2.
Menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak-pihak lain yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ke penggunaan lain. ditempuh melalui pengenaan biaya sebagai kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah
3.
Kombinasi dari kedua hal tersebut di atas. Menurut efek yang ditimbulkannya, instrumen ekonomi yang ditujukan untuk menciptakan insentif bagi petani terdiri dari dua macam: (a) langsung, dan (b) tidak langsung

Alternatif kebijakan I
Menciptakan insentif agar pemilik lahan sawah tetap mempertahankan fungsi lahan sawahnya sebagai lahan usahatani
a.      Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan agar bahwa surplus ekonomi (land rent) dari pemanfaatan lahan untuk  aktivitas pertanian adalah lebih rendah – dan selalu cenderung lebih rendah – dari  aktivitas non pertanian. Oleh karena itu, jika mekanisme alokasi pemanfaatan lahan  diserahkan pada mekanisme pasar maka sangat sulit (hampir mustahil) untuk  membatasi kecenderungan alih fungsi lahan sawah
b.      Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1.      Dapat difokuskan pada lokasi sasaran
2.      Efektif untuk membatasi alih fungsi  sistematis (industri, kompleks  perumahan, jalan tol,dsb.)  
3.      Efeknya cepat
c.       Kelemahan Kebijakan ini antara lain:
1.      Memerlukan waktu yang lama untuk merealisasikannya
2.      Rancang bangun kebijakan rumit (belum berpengalaman)

Alternatif Kebijakan II
Menciptakan kondisi disinsentif bagi pihak-pihak lain yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ke penggunaan lain. ditempuh melalui pengenaan biaya sebagai kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah

a.      Deskripsi Alternatif Kebijakan
Kebijakan ini bertujuan supaya Instrumen ekonomi yang diarahkan untuk menciptakan suasana tidak kondusif  (disinsentif) bagi pihak-pihak yang ingin mengalih fungsikan lahan sawah ditempuh  melalui pengenaan biaya sebagai kompensasi terhadap kerugian akibat hilangnya  manfaat dari sifat multi fungsi lahan sawah. Dengan pendekatan ini diharapkan  kecenderungan untuk mengalihfungsikan lahan sawah dapat ditekan
b.      Kelebihan Kebijakan ini antara lain:
1.      Dapat difokuskan pada lokasi sasaran
2.      Efektif untuk membatasi alih fungsi  sistematis
c.       Kelemahan Kebijakan ini antara lain:
1.      Dampaknya kecil
2.      Implementasinya agak rumit
3.      Rancang bangun kebijakan rumit

3 komentar:

  1. not bad at all trims atas infonya cuy semoga kita bisa komunikasi langsung. jempol untuk pemblogger

    BalasHapus
  2. lupa kemaren masukkannya
    sekarang udang hilang datanya
    karena laptopku di instal ulang
    maaf bro

    BalasHapus